Belajar dari Negara Tetangga, Tapi Ingat...
- defrinaanggraeni
- Sep 3, 2014
- 3 min read
2 September 2014, Aku dan teman-temanku mengikuti sebuah seminar yang menarik dengan narasumber Prof. Johannes Widodo dengan judul "Toward Suistainable and Liveable Asian City". Inilah buah dari kehadiranku disana :)
Ini sebuah cerita, tentang suatu negara yang bernama SINGAPORE. Dengan luas 700 sq km namun ditempati oleh 5,5 milyar manusia. Sekarang, siapa yang tidak kenal negara ini?
Apa image yang muncul ketika mendengar kata Singapore?
Modern?
Futuristik?
Tertata super rapi?
Begitukah? kurang lebih?
Ok, mari kita ulas awal Singapur!
Singapur merupakan negara kolonial, bekas jajahan Inggris.
Ternyata dari dulu (1963) negara ini memiliki masterplan~tatanan kawasan negara oleh konsultan yang diutus PBB.
Pada presentasinya, Pak Johannes menunjukan foto-foto keadaan Singapur tempo dulu. Keadaannya tak jauh beda dengan permukiman di Indonesia. tapi pada tahun 1965, masyarakat yang tinggal di hunian tanah mulai dipindah ke sistem hunian vertikal~rumah susun dengan hak kepemilikan pada masing-masing keluarga.
tentu muncul pertanyaan, "Bagaimana sikap masyarakat merespon perubahan ini?"
"Bagaimana kebijakan ini bisa terus bertahan tanpa adanya perpindahan/ penolakan masyarakat yang tinggal di sana?"
Ternyata jawabannya adalah kekuatan badan eksekutifnya yang kuat, ada sistem dan prosedur dalam pelaksanaanya, yaitu:
warga harus menempati rumah susun tersebut selama 5 tahun pertama tanpa boleh disewakan, apalagi dijual -___-
5 tahun berikutnya boleh disewakan tapi 1 kamar saja
kalau mau dijual lalu pindah, prosedurnya sangat 'ribet'
jika ingin pindah;
harus sudah punya tempat tinggal penggantinya
tidak boleh tinggal kembali di rumah susun tersebut, harus di tempat hunian yang dibangun pihak swasta, yang lebih mahal
Wow, tentu saja hal ini berjalan dengan komitmen pemerintahan dan tanpa pihak-pihak 'nakal' ya.
Kini, sistem pun terus berjalan. kebijakan merupakan salah satu kunci hingga singapur terlihat seperti sekarang, tertata.
Contoh lainnya, pengaturan mobil pribadi, pemerintah hanya mengeluarkan mobil sebesar X buah, sedangkan peminatnya ada Y orang dengan Y>X. maka dari itu, untuk memiliki mobil pribadi harus melewati sistem lelang, ditambah dengan syarat-syarat lainnya yang membuat kita harus banyak pertimbangan dan kematangan jika ingin mengendarai mobil pribadi di Singapur.
Hal itu tak merupakan pembatasan gerak masyarakatnya. masyarakat tetap mudah dalam berpergian. Transportasi publik memberikan fasilitas yang nyaman bagi penggunanya. Transportasi dan bangunan publik bersinergi satu sama lain. Menunggu bus (masih) di area mall, udara ruangan ber-AC pindah pintu ternyata sudah ada di dalam komuterline, yang ber-AC pula, hehehe...Mungkin seperti Transjakarta dengan Pondok Indah Mall kali ya :p
Bagaimana dengan sampah?
sampah-sampah yang tidak dapat diurai terkumpul dan dapat terbentuk menjadi sebuah pulau lalu dikembangkan seperti area alami dengan tumbuh-tumbuhan sehingga binatang-binatang pun berterbangan kesana dan menganggap, "Rumah kami kembali"
Air merupakan sebuah kebutuhan dasar masyarakat.
Bagaimana untuk memenuhinya?
Singapur pun bergantung pemasukan air bersih dari Malalysia. Tapi ketergantungan ini (berusaha) terlepas dengan cara "teknologi"
Singapur mengembangakan teknologi memproses air bekas pakai menjadi air bersih siap pakai kembali, selain itu juga dengan proses desalinasi, dimana air asin dapat diolah menjadi air tawar dan dimanfaatkan.
Prof. Johannes mencantumkan info 716,1 km2 land area dengan 7.401/km2 density, kesimpulannya "padet abis, men!"
hal tersebut merupakan tantangan, tapi hal tersebut dijawab dengan pembangunan Singapur berupa bangunan vertikal. teknologi membungkus semuanya menjadi menakjubkan, tak hanya menjulang keatas, tapi pembangunan high rise pun menelusuk ke dalam tanah hingga lebih dari 3 lantai di bawah tanah.
Tentu dalam pembangunannya ada kerjasama pemerintah~ masterplanning~ development, dimana ada keterlibatan community stakeholder dan pemikiran matang jauh ke depan (think long time) untuk mencapai goal yang salah satunya quality life.
hmmm... lalu tiba-tiba pertanyaan muncul dikepala.
Bagaimana dengan nilai budaya sosial masyarakatnya ya?
Tentu pembangunan yang menakjubkan ini turut mempengaruhi kehidupan masyarakat yang menempatinya, kan?
Pergeseran gaya hidup,kah?
Bayangkan jika kita (dulu) tinggal di sebuah permukiman, berbudaya sosial dengan tetangga; bertegur sapa, kerja bakti bersama bapak-bapak di akhir pekan, dan merayakan 17 Agustus-an se-RT, lalu (sekarang) kita tinggal di apartemen mewah di ibukota kerena tuntutan kerja.
Adakah perubahannya?
Inilah yang menjadi 'soal' untuk kita. Satu hal yang tidak boleh dilupakan dan sulit disamakan dengan Singapur, kita ini Indonesia, salah satunya memiliki nilai budaya sosial. tidak hanya (terus) tentang kekayaan budayanya (kesenian) tapi dalam bersosial pun masyarakat Indonesia berbudaya. ada nilai-nilai dalam bermasyarakat.
Prof. Johannes menanggapi hal ini dengan mengingatkan kita akan tiga hal, yaitu:
Pengetahuan
Skill
Value
Itulah yang dibutuhkan seseorang dalam pembangungan. lalu, tersebut sebuah nama seseorang, dia adalah Romo Mangun. Lagi-lagi almarhum YB. Mangunwijaya disebut-sebut, si genius yang sekaligus budayawan itu.
Mungkin, kini, Jakarta telah menjadikan individualistis setiap individunya, tapi bagaimanakah dengan yang lainnya? Indonesia bukan hanya Jakarta,kan
Haruskah mega pembangunan mengeser ke arah individualis dan pribadi konsumtif?
Ingat, ada hal yang harus kita ingat, nilai budaya sosial, masyarakat Indonesia memiliki itu :)
Comments